Blogroll

halo
Searching...
Rabu, 18 Mei 2011

Karena Buku Aku Bisa Membaca

17.13

Suatu pagi pada hari senin sekitar 13 tahun yang lalu, aku beserta ibuku berangkat menuju sebuah sekolah dasar bernama SDN III Bangunsari. Sekolah itu terletak di kawasan pusat Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Saat itu merupakan hari dimana aku mulai menjejakkan kaki pertama kali di sekolah tingkat dasar. Saat dalam perjalanan menuju sekolah, terlihat langit diselimuti awan gelap pertanda hujan akan datang. Langit pada hari itu sepertinya bisa menggambarkan perasaanku dalam menyongsong hari itu. Aku merasa berat dan tidak bersemangat untuk menjalani hari itu. Tas sekolahku yang sebenarnya hanya berisi 2 buah buku tulis dan beberapa alat tulis, saat kubawa malah beratnya terasa seperti sekarung batu kerikil saja. Hanya karena paksaan orangtua saja yang membuat aku akhirnya mau berangkat ke sekolah. Loyonya semangatku dikarenakan aku beranggapan bahwa sekolah hanya akan membuat kebebasanku berkurang. Sering terbayang dalam benak, aku tidak akan bisa bermain sebebas dulu apabila bersekolah. Hatiku benar-benar galau saat itu.

Saat tiba di sekolah, terlihat banyak anak yang memakai seragam warna putih merah dengan sebuah dasi yang membalut leher. Di mataku, dasi itu seperti tali yang digunakan untuk mengekang sapi milik kakekku. Dasi itu pasti juga sudah siap digunakan untuk mengekang kebebasanku. Ada juga anak - anak beserta orangtuanya, dan perkiraanku benar bahwa mereka juga siswa baru sepertiku. Banyak diantara mereka terlihat begitu bersemangat.

Aku dan siswa baru lainnya lalu memasuki ruang kelas untuk memulai pelajaran pertama kami. Hari itu, aku sungguh tidak bisa menikmati kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah tersebut, dan kondisi itu berlanjut terus sampai akhir caturwulan dua. Selama itu aku sering membolos sekolah dan bermain-main saja. Akibat dari semua itu, nilai-nilaiku amat jelek dan aku masih belum juga bisa membaca. Kondisiku itu sungguh berbanding terbalik dengan kondisi sebagian besar teman sekelasku yang sudah cukup lancar dalam membaca.

Suatu hari orangtuaku dipanggil ke sekolah oleh wali kelasku. Dengan kepolosanku saat itu, aku tidak mengerti maksud dari pemanggilan itu. Akhirnya ibu saja yang memenuhi panggilan itu karena ayah sedang sibuk. Pada hari yang sama setelah ibuku menghadap, beliau segera berbicara padaku. Ibu ternyata ingin mengajakku ke suatu tempat esok hari.
Sesuai dengan janji ibu, kami pergi ke tempat itu. Tempat itu berupa sebuah gedung yang cukup besar, lalu kami memasuki gedung itu. Dalam gedung itu ternyata terdapat banyak sekali buku yang tertata rapi dalam rak. Ibuku lalu menjelaskan (dalam bahasa jawa) bahwa tempat itu bernama perpustakaan. Ibuku juga menjelaskan bahwa di sini terkumpul berbagai jenis buku, seperti novel, cerpen, puisi, atlas, koran, hingga buku-buku sains. Aku hanya mengiyakan saja penjelasan ibu. Setelah itu ibuku segera mencari buku yang ingin dia baca. Tidak lama kemudian ibu mendapat buku yang beliau inginkan. Ibu lalu segera duduk dan membaca buku itu, aku pun juga ikut-ikutan duduk disebelah beliau. Pada buku yang dibaca ibu ternyata terdapat gambar-gambar yang cukup banyak dan menarik tetapi tetap didominasi oleh tulisan (yang saat itu belum bisa kubaca). Buku itu membuat aku tertarik. Hal itu membuat aku bertanya pada ibu tentang apa maksud yang tertulis pada buku itu. Ibu lalu menjawab, “Nek pengen ruh, adek kudu isa maca sik (Kalau ingin tahu, adek harus bisa membaca dulu)”. Aku termenung mendengar jawaban itu. Perkataan beliau seperti petir yang menyambar hatiku. Saat itu aku mulai sadar bahwa kebebasanku ternyata lebih terkekang saat tidak bisa membaca, yaitu kebebasan untuk mengetahui isi beserta pemikiran dari buku yang dipegang ibu maupun berbagai buku lainnya. Aku mulai merasa takut. Aku juga mulai merasa kebebasanku dalam bermain-main (yang kudapatkan dengan mengorbankan waktu belajar membacaku) bila dibandingkan bukanlah apa-apa dihadapan kebebasan tersebut (dengan cara membaca). Hal-hal yang kusadari itu ternyata kembali dipertegas oleh ucapan ibu setelah beliau selesai membaca.

Akhirnya karena peristiwa unikku dengan buku itu, hal tersebut memicu aku berusaha keras mengejar ketertinggalanku dalam hal kemampuan membaca. Setelah pulang sekolah, aku menjadi lebih sering mengurangi waktu bermainku demi belajar. Lebih baik aku bermain dengan huruf-huruf demi mendapat kebebasan yang lebih besar dan penting. Memang terasa sulit, tetapi untung ada ibu dan ayah yang siap membimbing dengan sabar.

Akhirnya atas usaha kerasku, aku sudah mampu membaca dengan lancar saat berada di kelas dua. Setelah itu, makin sering kugunakan kemampuan itu untuk mendalami isi dan pemikiran dari berbagai buku. Sering saat jam istirahat sekolah, kusempatkan diri ke perpustakaan sekolah untuk membaca serta meminjam buku. Cukup sering juga aku merengek pada orangtuaku untuk dibelikan majalah atau jenis buku yang lain.

Hingga saat ini, hobi membacaku tetap kupertahankan. Mungkin hobi itu akan semakin menggila sejak aku pindah domisili ke Jakarta. Hal tersebut dikarenakan aku sudah mendaftarkan diri menjadi anggota Perpustakaan Nasional (bisa dikatakan gudang buku terlengkap di Indonesia) dan disini juga terdapat toko buku Gramedia (di kampungku belum ada Gramedia) yang menjual banyak buku-buku bermutu.

Sungguh luar biasa kekuatan dari buku. Kekuatan tersebut telah membuatku bisa membaca dan bisa merasakan kebebasan yang luar biasa dengan kemampuan itu (membaca). Andai saja peristiwaku dengan buku itu tidak terjadi, pasti aku tidak akan berubah sampai seperti sekarang.

Terimakasih Buku..


0 komentar: