Namaku Niko. Saat ini aku sedang berada di kampung halamanku, Ponorogo provinsi Jawa Timur. Di hari minggu pagi yang cerah ini aku sedang berada di tempat dulu aku menimba ilmu yaitu di SMA Negeri 1 Ponorogo, SMA terfavorit di Kab. Ponorogo, he he he . Sudah 15 Tahun aku tidak berkunjung ke sekolah tercintaku tersebut. Terkenang banyak hal-hal yang terjadi, baik kenangan indah maupun hal yang buruk. Salah satu kenangan yang paling mengesankan adalah pertemuan dan persahabatanku dengan seseorang yang sbernama John.
Pertama kali aku bertemu dengan John terjadi pada saat awal semester genap kelas X. Hari itu pada jam pelajaran pertama, Ibu guru fisika di kelasku memasuki kelas, lalu beliau memberitahu bahwa ada siswa pindahan dari luar negeri tepatnya dari Jerman yang bakal menghuni kelas ini. Terbayang olehku pasti siswa baru tersebut seperti orang eropa pada umumnya, berbadan tinggi tegap, dan putih. Sesaat kemudian masuklah siswa baru tersebut ke dalam kelas. Berbeda sekali dengan yang kubayangkan, ternyata siswa baru tersebut berwajah seperti orang negro papua tapi dia memiliki tinggi tubuh seperti orang eropa. Saat diperhatikan lebih jauh ada hal lainnya yang membuat aku dan teman-teman sekelas kaget dan juga iba , yaitu karena dia memiliki cacat fisik, bentuk tangannya tidak normal, panjang tangannya hanya setengah panjang tangan orang dewasa, tangan kanan hanya 2 jari, tangan kiri malah hanya 1 jari. Tangan kanannya lebih pendek daripada tangan kiri. Sungguh aku makin iba saat melihat wajah dan matanya yang menunjukkan keminderan dan rasa kerendahan diri. Dia lalu memperkenalkan dirinya dengan kepala setengah tertunduk. Dari situ, kami tahu bahwa namanya John. Kami juga dikagetkan bahwa John bisa berbahasa Indonesia dengan cukup lancar walaupun dia pindahan dari Jerman, kok bisa ya? Setelah perkenalan diri, John segera duduk di kursi yang masih kosong, dia akhirnya duduk tepat di sebelah kananku. Kucoba untuk menyapanya, tapi entah kenapa sulit sekali. Akhirnya setelah terkumpul rasa keberanian kusapa dia, “halo John, salam kenal namaku Niko.” Tetapi John hanya diam. Beberapa teman sekelasku melihat kejadian itu. Itu membuat mereka jadi makin ragu untuk berkenalan dengan John.
Pada saat pelajaran dimulai dan kami semua disuruh mencatat tulisan yang ada di papan tulis, terlihat John mampu menulis memakai pulpen dengan cukup lihai, dia tidak mengalami kesulitan walaupun tangannya cacat, luar biasa menurutku. Pada hari pertama itu John hanya berdiam diri saja, tidak mau berbaur dengan kami. Saat jam istirahat, John tidak keluar kelas, dia memakan bekal makanannya di dalam kelas. Aku heran dari jam pertama pelajaran (pukul 07.00) sampai jam terakhir pelajaran (pukul 15.00) kok dia tidak keluar dari kelas sama sekali ya, apa dia tidak merasa kebelet ingin ke toilet. Seharusnya John pasti merasa ingin buang air karena tadi kulihat bekal yang dimakan dan diminum cukup banyak. He he he .
Keesokan harinya ternyata John tidak masuk sekolah tanpa alasan. Hari berikutnya John masih belum masuk. Di hari ketiga pun dia masih belum juga terlihat batang hidungnya. Sungguh kami kelas XI IPA 5 dan guru-guru dibuat kebingungan akibat hal tersebut. Pada hari ketiga di sore hari, aku dan teman sekelasku Danang pulang sekolah bersama, kami berdua naik sepeda berboncengan. Saat kami melewati daerah persawahan,kami melihat seseorang mirip John. Orang itu sedang membawa pisau cukup besar, lalu tiba-tiba pisau itu didekatkan pada lehernya. Aku dan Danang langsung terpikir bahwa orang itu ingin melukai dirinya sendiri, atau mungkin saja ingin bunuh diri . Segera saja kami berlari dan menghalangi tindakan orang tersebut. Untungnya didetik-detik terakhir, kami mampu mencegah perbuatan bodoh itu, dan ternyata benar dugaan kami bahwa orang itu adalah John, hem.. Lalu aku berkata pada John, “Apa yang mau kamu lakukan? Perbuatanmu itu berbahaya sekali.” Danang juga berkata, “benar John, perbuatanmu itu salah.”Terlihat John menangis tersedu-sedu. Lalu dia berkata, ”Kalian jangan menganggu, aku ingin MATI…!!!!” Kami tertegun mendengar kata itu, saat itu juga tiba-tiba John seketika tak sadarkan diri. Aku dan Danang kaget sekali, lalu segera saja kami menggotong John ke rumahku yang terletak tidak jauh dari TKP. Sampai di rumah, segera kutidurkan John di kamarku. Atas saran dari Ibuku, kukompres John dengan es batu agar panas/demam yang melandanya bisa berkurang.
Esok hari sekitar pukul 03.00 dini hari, aku terbangun dari tidur yang tak nyenyak untuk belajar. Saat lagi asyiknya belajar, terdengar ada suara di kamar tidurku. Saat kulihat ternyata John sudah terbangun dari tidurnya. Lalu segera kutanyai dia, ”Sudahkah kamu merasa lebih baik John?” Tapi John dengan wajah kebingungan malah bertanya, ”Ada dimana ini?” Lalu kujawab pertanyaannya, ”Kamu kemarin pingsan sehingga kubawa kamu ke rumahku ini . Oya kenalkan namaku Niko, kita kan belum sempat berkenalan saat di sekolah.” Jawab John, ”Oiya, terimakasih banyak ya.” Lalu kujawab ucapan terimakasihnya itu dengan senyuman, dan segera kutanya John, ”Kalau boleh, tolong ceritakan alasanmu kenapa sampai kemarin sore kamu ingin melakukan seperti itu? Kalau ada masalah coba ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantumu.” Walaupun agak ragu, tapi akhirnya John mau bicara juga. Dia memulai ceritanya mengenai latar belakang kehidupannya, John adalah anak cacat fisik pada tangannya yang ayahnya orang Negro berkebangsaan Australia dan ibunya orang berkebangsaan Indonesia (Aha, itulah alasan kenapa John mampu berbahasa Indonesia). John lahir di Australia, bisa dikatakan John sekarang adalah warga negara Australia. Sampai umur 7 tahun John tinggal di Australia. Saat di Australia John sangat sering diejek oleh teman sebayanya karena cacat fisiknya dan kenegroannya. Hal tersebut sungguh menyakitkan hati John. Lalu karena urusan pekerjaan ayahnya, John sering berpindah-pindah negara, yaitu dari USA, Rusia, Korea Selatan, Mesir, Jerman, dan terakhir Indonesia. Saat ada di USA, Rusia, dan Korea Selatan John bersekolah di sekolah umum. Disitu dia tetap banyak diejek seperti saat di Australia. Sungguh hal tersebut makin membuat minder dan rendah diri John. Akhirnya diputuskan saat ada di Mesir dan Jerman, John lebih memilih belajar melalui Home Schooling. Saat tiba di Kabupaten Ponorogo Indonesia, John dipaksa oleh orang tuanya untuk bersekolah di tempat umum lagi. John tentu saja menolak, tapi akhirnya John mau melakukan dengan hati terpaksa. John merasa hidupnya selama ini tidak lagi memiliki arti, dia sudah tidak mampu menikmati hidupnya. Oleh karena itu dia kemarin ingin bunuh diri.
Setelah mendengar cerita tersebut aku jadi mengerti apa yang menjadi masalah John dan alasan John menjadi seorang yang rendah diri dan suka minder. Aku bingung mau ngomong apa pada John. Aku memang bukan orang yang ahli sih dalam memberi inspirasi pada orang lain . Akhirnya aku hanya berkata, ”Ayo John kuantar ke rumahmu, kusarankan nanti kamu harus masuk sekolah, belum tentu lho disini kamu nanti akan merasakan hal yang sama seperti saat di negara-negara yang pernah kamu huni sebelum ini.”Akhirnya John kuantar ke rumahnya yang ternyata lumayan dekat dengan rumahku, cukup jalan kaki saja. Sesampai di rumah John, aku bertemu dengan ayah dan ibunya. Mereka terlihat senang dan lega melihat kepulangan John. Terlihat memang benar bahwa ayah John adalah orang negro dan ibunya orang Indonesia asli. Lalu aku ditanyai oleh Ibu John, ”Nak, apa kamu tahu apa yang terjadi pada John sehingga dia baru pulang pagi ini?” Aku bingung mau menjawab apa dan dalam hati aku bertanya kenapa yang ditanyai kok aku bukannya seharusnya John, lagipula aku sudah janji pada John bahwa tidak akan menceritakan kejadian kemarin sore kepada siapapun. Haduh gimana ya?? Lalu John tiba-tiba menjawab, ”Aku hanya bermain ke rumah Niko, lalu tanpa sadar aku ketiduran sampai pagi di rumahnya.” Ibu John agak ragu, tapi aku segera mengiyakan saja agar orang tua John percaya. Lalu setelah itu aku segera pulang ke rumah untuk persiapan berangkat ke sekolah.
Saat tiba di depan gerbang sekolah, lega juga bahwa John pada hari itu akhirnya masuk sekolah, dia berangkat diantar oleh ayahnya. Singkat cerita pada jam pelajaran kedua, kelas kami ada pelajaran Mulok Reyog. Lalu John bertanya padaku, ”Apa sih pelajaran Mulok Reyog itu?” Aku jawab bahwa Mulok (Muatan lokal) Reyog adalah pelajaran yang mengajarkan tentang sejarah, atribut, nilai-nilai, dan makna pada tari Reyog. Tari Reyog adalah tari khas Ponorogo yang terkenal dalam cakupan nasional maupun Internasional. Guru Mulok Reyog di kelas ini bernama bapak Heru Subeno. Biasa dipanggil pak Heru. Lalu John memberikan respon tanda mengerti akan penjelasanku.
Saat itu pak Heru mengajarkan pada kami mengenai bagaimana para Warok (salah satu tokoh dalam tari reyog) menjalani kehidupannya pada zaman dahulu kala. Selama pelajaran itu jujur aku tidak terlalu fokus terhadap apa yang diajarkan pak Heru. Aku memang menganggap bahwa pelajaran itu tidak terlalu penting. Sebagian besar teman yngg lain juga menganggap seperti itu. Aku lebih mau fokus mengerjakan PR Matematika yang harus dikumpulkan pada jam pelajaran berikutnya (jangan ditiru ya, he he he). Terlihat John sepertinya sedang fokus pada pelajaran Mulok Reyog tersebut. Tepat selesainya pelajaran Mulok Reyog, selesai juga PR Matematikaku ini. Lalu secara tiba-tiba John mengajakku untuk menemui pak Heru yang sekarang sepertinya sudah berada di ruang guru. Kutanya John kenapa dia mau menemui pak Heru, Tetapi malah tidak dijawab. Huh.. Walaupun begitu kuturuti saja dan segera kami menuju ke ruang guru. Terlihat pak Heru sedang membaca-baca buku. Lalu kami masuk ruang guru kemudian menghampiri pak Heru. John kemudian berkata pada pak Heru, ”Permisi Bapak, nama saya John. Saya ingin minta tolong, Maukah Bapak mengajarkan pada saya lebih dalam mengenai Warok?” Dalam hati aku berkata, ”Ooo… Itu ya tujuannya John”. Lalu pak Heru hanya menjawab, ” Saya sekarang lagi sibuk, mainlah ke rumah saya pada hari minggu ini, nanti akan saya turuti permintaan tolongmu itu. Ini alamat rumah saya. ”Terlihat wajah John tersenyum lebar saat menerima kartu nama pak Heru Subeno.
Akhirnya pada hari minggu aku diajak John berkunjung ke rumah pak Heru. Ternyata rumah beliau cuma terletak dekat dengan SMA kami. Sesampai di depan rumah beliau, sudah terasa sekali aura reyognya. Terlihat di teras depan terdapat banyak properti tari reyog bergeletakan. Lalu kuketuk pintu rumah tersebut. Tak berapa lama pak Heru muncul dan mempersilakan kami masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah malah lebih kuat aura reyognya, karena terlihat banyak sekali atribut-atribut tari reyog yang dipajang di dinding. Lalu Pak Heru bertanya pada kami, ”Yap,, Jadi ada keperluan apa kalian berkunjung ke rumah saya?” John segera menjawab, ”Jadi begini bapak, jujur saya sangat tertarik pada pelajaran tentang cara-cara hidup Warok. Tapi waktu itu bapak belum selesaimenjelaskannya dan masih ada satu cara hidup lagi yang bapak janji akan jelaskan pada pelajaran Mulok minggu depan. Saya menjadi sangat penasaran akan hal tersebut. Saya merasa bahwa cara hidup yang terakhir tersebut akan menginspirasi saya untuk menjadi lebih baik. Jadi saya mohon tolong jelaskan tentang cara hidup terakhir warok tersebut.” Mendengar hal tersebut pak Heru malah tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya sungguh menggelegar, sampai pajangan yang ada di dinding rumah ikut bergetar. Lalu akhirnya pak Heru menjawab, ”Memang menurut saya cara hidup yang terakhir tersebut perlu kamu miliki. Saya melihat kamu pasti orang yang sangat rendah diri dan suka minder, hal tersebut pasti disebabkan cacat pada tanganmu bukan. Hal tersebut juga sangat terlihat dari pancaran matamu, John. Ok, sebelum saya menjawab hal yang kamu tanyakan, saya akan menceritakan sebuah kisah.
Jadi alkisah pada zaman dahulu di wilayah Ponorogo ada seorang anak yang bernama Anom. Matanya sudah buta sejak lahir. Ayah dan ibunya juga sudah meninggal dunia karena dibunuh oleh para perampok. Sungguh luar biasa penderitaan si Anom kecil. Untungnya ada orang yang mau mengasuh dia. Orang itu adalah Warok bernama Ki Menggolo. Ki Menggolo mendidik Anom agar suatu saat nanti bisa mendapatkan gelar Warok juga, dan pada akhirnya Anom mampu juga meraih gelar Warok pada saat umurnya 40 tahun. Saya mau bilang bahwa untuk mendapatkan gelar Warok itu sulit lho. Butuh usaha yang luar biasa. Walaupun buta ternyata Anom mampu, dia memang sangat hebat sekali. Menurut kalian apa kunci dari keberhasilan itu?” Segera kutebak-tebak saja, ”Pasti kuncinya adalah cara hidup warok yang terakhir itu kan pak.” Ternyata pak Heru membenarkan jawabanku. He he.. beruntung sekali aku. John bertanya, ”Lalu apa pak cara hidup Warok yang terakhir itu?” Lalu pak Heru menjawab, ”Cara hidup Warok itu adalah „mensyukuri apa yang ada‟. Cara hidup ini harus diajarkan pada calon Warok saat tahap awal pelatihan. Cara hidup ini memang merupakan dasar yang penting untuk melanjutkan pelatihan-pelatihan berikutnya. Apabila cara hidup itu sudah dipunyai dan menjadi kebiasaan, maka tingkat keberhasilan pelatihan-pelatihan Warok berikutnya pasti akan makin tinggi. Pasti kalian bertanya kok bisa begitukan?? Jadi begini, dengan cara hidup yang selalu bersyukur tersebut kita akan mampu menghilangkan tekanan dalam diri dan juga mampu memaksimalkan apa yang kita punya menjadi sesuatu yang sangat berguna. Dalam kasus Anom, walaupun dia yang memiliki mata yang buta, karena dia mampu bersyukur kepada Sang Pencipta atas apa yang diberikan, Anom mampu menghilangkan tekanan yang ada dalam pikirannya (dalam kasus Anom tekanan itu adalah rasa minder/rendah diri). Dengan pikiran tanpa tekanan tersebut, Anom mampu berpikir kreatif menghasilkan ide-ide yang sangat membantu keberhasilan proses pelatihan dalam menjadi Warok. Tahu gak idenya yang paling berpengaruh? Ide yang paling berpengaruh itu adalah memaksimalkan penggunaan Indra Pendengaran (telinga) yang dimilikinya sebagai pengganti indra penglihat. Dengan modal telinganya itu Anom akhirnya mampu menjadi seorang Warok yang disegani.”
Aku sungguh takjub mendengar cerita tersebut. John mungkin malah lebih tersentuh atas cerita tersebut, matanya terlihat berkaca-kaca. Lalu pak Heru berbicara pada John, ” John, memang benar tebakanmu, cara hidup ini akan sangat berguna bagimu. Kamu harus bersyukur pada Sang Pencipta terhadap apa saja yang diberikanNya padamu. Hilangkan tekanan dalam pikiranmu, segera pikirkan apa kelebihanmu, sehingga kehidupanmu akan lebih bermakna. Kalau hidupmu bisa lebih bermakna pasti tidak akan punya keinginan bunuh diri lagi kan.” Kami berdua seketika kaget mendengar perkataan pak Heru itu, lalu John bertanya, ”Bapak kok tahu saya pernah mau melakukan hal itu?” Lalu pak Heru menjawab, ”Saya dulu pernah lihat kamu mau bunuh diri. Saya mau menghalangi niatkamu tapi malah didahului oleh si Niko. Ha ha ha…. (tawa gelegar pak Heru).” Aku dan John juga ikut-ikutan,”he he he…”. Setelah itu aku dan John pamit pulang pada pak Heru.
Dalam perjalanan pulang, aku berpikir bahwa memang semua yang dikatakan pak Heru tadi merupakan solusi pas bagi masalah John. Lalu aku berkata pada John, ”John, mulai detik ini kamu harus menerapkan apa yang dinasehatkan pak Heru tadi padamu.” Lalu kata John, ”Iya aku tahu. Aku juga ingin bilang bahwa negara Indonesiamu ini luar biasa ya. Disini ada nilai-nilai kehidupan yang sangat mulia. Indonesia juga adalah bangsa yang memiliki banyak suku-suku. Pasti masih banyak lagi nilai luhur kehidupan yang masih bisa digali. Kamu pasti bangga ya pada bangsamu ini?” Lalu kujawab, ”tentu saja, he he he..” Aku lalu bertanya lagi, ”John, apakah kamu sudah kepikiran apa yang menjadi kelebihanmu?”Lalu John menjawab, ”Jujur, aku masih belum tahu. Bantu aku ya Niko.” Kujawab,” Tentu sajalah kawan.”
Kira-kira setelah beberapa menit akhirnya kami sampai juga di rumah John. Kami lalu masuk ke dalam rumah John. Dari awal aku memang sudah merencanakan mampir dulu di rumah John. Kami mau mengerjakan PR Fisika yang harus dikumpulkan esok hari. Kami mengerjakan PR di ruang tamu. Saat John menulis jawaban PR fisika di kertas, kulihat dia memegang bolpoint menggunakan 2 tangannya. Itu karena tangannya memang cacat. Walaupun begitu tulisannya sangat bagus, malah sepertinya tulisannya lebih bagus dari tulisanku. Pada saat John tidak sedang menulis, kuamati dia melakukan sesuatu yang aneh menurutku. Tapi dari tingkah laku John itu aku seketika mendapat jawaban dari permasalahan John. Lalu segera aku berkata pada John, ”John aku tahu apa yang menjadi kelebihanmu.” Lalu John menanggapi, ”Memang apa kelebihanku?” Segera saja kuterangkan, ”Kita kan tadi sudah tahu dari pak Heru bahwa ada seorang calon warok yang matanya buta, tapi akhirnya menemukan kelebihannya yaitu pendengarannya yang tajam. Kamu sama dengan calon warok itu, kamu punya cacat pada tanganmu, tapi kupikir kamu punya kelebihan yaitu pada kakimu.” Segera John menanggapi pendapatku dengan penuh keraguan, ”Ah, masa sih?” Lalu kujawab keraguan John itu, ”Tadi aku memperoleh ide itu saat melihatmu memegang bolpoint dengan jari-jari kakimu. Sungguh kakimu itu mempunyai kemampuan seperti tangan, kamu tinggal harus mengembangkannya.” Mendengar pendapatku itu John jadi tertegun. Kemudian dia berkata, ”Mungkin itu benar, tapi mau dikembangkan bagaimana kakiku ini?” Pertanyaan yang sudah kutebak akan muncul, ”Baiklah ayo sekarang ikut aku ke sekolah, masalah PR kita selesaikan nanti saja.”
Kami kemudian segera menuju ke SMAN 1 Ponorogo dengan jalan kaki. Sesampai di sekolah, kuajak John menuju ke bagian belakang SMA tercintaku ini. Akhirnya sampai juga dan kami berdua melihat ada beberapa orang yang sedang melakukan suatu kegiatan, lalu setelah kulihat kegiatan itu lebih dekat ternyata benar memang itu yang kucari. John bertanya padaku, ”Untuk apa kamu membawaku kesini? Dan apa yang sedang orang-orang itu lakukan?” Lalu kujawab pertanyaan John, ”John, aku ingin menunjukkan kegiatan itu padamu. Mungkin kegiatan itu akan mampu mengembangkan kemampuan kakimu dan kamu akan menemukan tujuan hidupmu disini.” Saat John melihat lebih seksama kegiatan itu, dia sepertinya mulai mengerti apa yang kumaksudkan. Segera kulanjutkan saja penjelasanku, ”Kegiatan itu bernama Sepak Takraw. Itu adalah olahraga asli dari Indonesia dan sudah diperlombakan sampai di tingkat kompetisi dunia. Dibutuhkan kemampuan ketrampilan olah bola dengan menggunakan kaki untuk mampu melakukan olahraga ini. (Pembaca pasti juga sudah tahu kan tentang cara olahraga ini dimainkan).” Tapi dengan wajah ragu-ragu John berkata, ”Tapi aku tidak yakin bisa melakukan itu.” Lalu kupanggilsaja temanku sekaligus ketua ekstrakurikuler sepak takraw yang bernama Dika, ”HEI. . . Dika, aku membawa orang yang berbakat nih dalam sepak takraw.” Kemudian Dika menghampiri kami, juga terlihat John dengan wajah khawatirnya. “Halo Niko, ada urusan apa kesini?” Lalu kujawab, ”Ini lho aku membawa teman yang ingin berlatih bermain sepak takraw. Namanya John, dia murid baru yang masih bersekolah disini kurang lebih satu minggu.” Dika terlihat meragukan kemampuan John. Lalu segera kubilang pada Dika bahwa John punya bakat di sepak takraw, dan akhirnya Dika mau menerima John sebagai anggota. Sore itu juga John memulai latihannya. Dia diajari dasar-dasar sepak takraw bersama dengan siswa-siswa pemula dari kelas X. Terlihat John cukup mudah dalam mencerna apa yang diajarkan. Setelah melihat itu Dika juga mulai mengakui bahwa John mempunyai potensi. Jam sudah menunjukkan angka 5 sore, acara latihan sudah selesai karena itu aku dan John pulang bersama. John menyatakan bahwa menikmati sekali latihan tadi. Dia berjanji akan berlatih dengan giat.
Setelah itu John secara rutin berlatih sepak takraw tiap hari sabtu dan minggu di sekolah. Kadang kulihat juga dia berlatih sendiri di rumahnya. Dalam latihan itu, perkembangan John sangatlah pesat. Dia mampu menampilkan gerakan-gerakan yang berbeda dan lebih efektif dalam olahraga sepak takraw. Terlihat ide-ide gerakan itu sangatlah kreatif. Dia mulai mendapatkan posisi pemain inti dalam setiap pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Selain berlatih sepak takraw, John juga sedang mendalami budaya-budaya yang ada di Indonesia. Sering pada saat jam pelajaran kosong atau jam istirahat dia malah pergi ke perpustakaan sekolah untuk membaca buku-buku tentang kebudayaan Indonesia. Semua kegiatan itu (latihan sepak takraw dan belajar budaya Indonesia) dilakukan dengan rutin selama semester genap ini. John mengatakan padaku bahwa dia sangat menikmati kehidupan disini bukan hanya karena kegiatan-kegiatan itu tapi disini dia merasa tidak ada diskriminasi padanya. Teman-teman disini sangat baik dan tidak mempermasalahkan kondisi cacat fisiknya. John merasa mulai menyukai negeri Indonesia ini.
Akhirnya tanpa terasa sudah memasuki semester ganjil kelas XII. John sudah kuanggap sebagai sahabat. Saat itu John dengan teman setimnya sedang mempersiapkan diri dalam kejuaraan sepak takraw antar SMA/sederajat se-kabupaten Ponorogo dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Singkat cerita akhirnya tim sepak takraw SMAku dengan penuh perjuangan dan kerja keras berhasil menjadi jawara pertama dan terasa lengkap saat John juga meraih penghargaan sebagai pemain terbaik. Banyak orang takjub pada John karena walaupun cacat dia mampu memperoleh prestasi itu. Sungguh bangga aku melihat prestasi yang ditunjukkan John. Setelah memenangi kompetisi itu, kami bisa menikmati acara perayaan HUT Indonesia tanpa beban. Banyak acara yang diselenggarakan, seperti pawai sepeda, baris-berbaris, kirab pramuka, pawai pembangunan, pagelaran wayang, dan tentunya pagelaran tari reyog. John yang pertama kali mengikuti acara-acara ini mengaku sangat terkesan. John bilang padaku, ”Unik sekali ya negaramu ini. Sungguh bersyukur sekali aku diberi kesempatan menikmati hidup disini.”
Akhirnya semua rangkaian kegiatan HUT RI ditutup dengan upacara pengibaran bendera pada tanggal 17 Agustus 2008 pagi dan dilanjutkan upacara penurunan bendera pada sore harinya. Aku dan John diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti upacara penurunan bendera di alon-alon Kabupaten. Cukup bangga juga aku diberi kesempatan ini, he he. Acara penurunan bendera itu berjalan dengan sangat khidmat. Terlihat John yang berdiri disampingku matanya berkaca-kaca. Upacara bendera itu ternyata menjadi saatsaja temanku sekaligus ketua ekstrakurikuler sepak takraw yang bernama Dika, ”HEI. . . Dika, aku membawa orang yang berbakat nih dalam sepak takraw.” Kemudian Dika menghampiri kami, juga terlihat John dengan wajah khawatirnya. “Halo Niko, ada urusan apa kesini?” Lalu kujawab, ”Ini lho aku membawa teman yang ingin berlatih bermain sepak takraw. Namanya John, dia murid baru yang masih bersekolah disini kurang lebih satu minggu.” Dika terlihat meragukan kemampuan John. Lalu segera kubilang pada Dika bahwa John punya bakat di sepak takraw, dan akhirnya Dika mau menerima John sebagai anggota. Sore itu juga John memulai latihannya. Dia diajari dasar-dasar sepak takraw bersama dengan siswa-siswa pemula dari kelas X. Terlihat John cukup mudah dalam mencerna apa yang diajarkan. Setelah melihat itu Dika juga mulai mengakui bahwa John mempunyai potensi. Jam sudah menunjukkan angka 5 sore, acara latihan sudah selesai karena itu aku dan John pulang bersama. John menyatakan bahwa menikmati sekali latihan tadi. Dia berjanji akan berlatih dengan giat.
Setelah itu John secara rutin berlatih sepak takraw tiap hari sabtu dan minggu di sekolah. Kadang kulihat juga dia berlatih sendiri di rumahnya. Dalam latihan itu, perkembangan John sangatlah pesat. Dia mampu menampilkan gerakan-gerakan yang berbeda dan lebih efektif dalam olahraga sepak takraw. Terlihat ide-ide gerakan itu sangatlah kreatif. Dia mulai mendapatkan posisi pemain inti dalam setiap pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Selain berlatih sepak takraw, John juga sedang mendalami budaya-budaya yang ada di Indonesia. Sering pada saat jam pelajaran kosong atau jam istirahat dia malah pergi ke perpustakaan sekolah untuk membaca buku-buku tentang kebudayaan Indonesia. Semua kegiatan itu (latihan sepak takraw dan belajar budaya Indonesia) dilakukan dengan rutin selama semester genap ini. John mengatakan padaku bahwa dia sangat menikmati kehidupan disini bukan hanya karena kegiatan-kegiatan itu tapi disini dia merasa tidak ada diskriminasi padanya. Teman-teman disini sangat baik dan tidak mempermasalahkan kondisi cacat fisiknya. John merasa mulai menyukai negeri Indonesia ini.
Akhirnya tanpa terasa sudah memasuki semester ganjil kelas XII. John sudah kuanggap sebagai sahabat. Saat itu John dengan teman setimnya sedang mempersiapkan diri dalam kejuaraan sepak takraw antar SMA/sederajat se-kabupaten Ponorogo dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Singkat cerita akhirnya tim sepak takraw SMAku dengan penuh perjuangan dan kerja keras berhasil menjadi jawara pertama dan terasa lengkap saat John juga meraih penghargaan sebagai pemain terbaik. Banyak orang takjub pada John karena walaupun cacat dia mampu memperoleh prestasi itu. Sungguh bangga aku melihat prestasi yang ditunjukkan John. Setelah memenangi kompetisi itu, kami bisa menikmati acara perayaan HUT Indonesia tanpa beban. Banyak acara yang diselenggarakan, seperti pawai sepeda, baris-berbaris, kirab pramuka, pawai pembangunan, pagelaran wayang, dan tentunya pagelaran tari reyog. John yang pertama kali mengikuti acara-acara ini mengaku sangat terkesan. John bilang padaku, ”Unik sekali ya negaramu ini. Sungguh bersyukur sekali aku diberi kesempatan menikmati hidup disini.”
Akhirnya semua rangkaian kegiatan HUT RI ditutup dengan upacara pengibaran bendera pada tanggal 17 Agustus 2008 pagi dan dilanjutkan upacara penurunan bendera pada sore harinya. Aku dan John diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti upacara penurunan bendera di alon-alon Kabupaten. Cukup bangga juga aku diberi kesempatan ini, he he. Acara penurunan bendera itu berjalan dengan sangat khidmat. Terlihat John yang berdiri disampingku matanya berkaca-kaca. Upacara bendera itu ternyata menjadi saatterakhir kebersamaanku dengan John. Aku tahu akan hal tersebut saat malam harinya aku berkunjung ke rumah John, ternyata rumahnya sudah kosong. Sunggguh saat itu aku bingung. Lalu saat itu aku bertemu dengan pembantu yang bekerja di rumah John, dia menghampiri aku, dan menceritakan apa yang terjadi. Dia mengatakan bahwa keluarga John sudah pergi dari Indonesia dan saat ini menuju ke Kanada karena kepentingan pekerjaan orang tua John. Saat itu syok sekali hatiku ini. Lalu mantan pembantu keluarga John itu memberikan sepucuk surat padaku, dia bilang surat itu titipan John padaku. Lalu segera kubaca isi surat itu. Inilah isi surat itu,” Halo Niko, maaf aku tidak berpamitan dulu padamu beserta teman-teman lainnya sebelum pergi lagi ke luar negeri. Sungguh sebenarnya aku ingin tetap berada di Indonesia terus. Tapi karena urusan pekerjaan orang tuaku, Aku terpaksa ikut mereka. Aku sangat menikmati dan bahagia sekali saat bersama kamu dan teman lainnya. Akupun juga mulai mencintai negara Indonesia, terutama tentang budaya dan nilai luhurnya. Indonesia adalah negara terbaik dibanding negara sebelumnya yang pernah kusinggahi. Aku berharap suatu saat nanti bisa kembali. Kamu dan budaya Bangsamu telah memberiku hidup baru yang lebih baik. Terimakasih Banyak.” Setelah membaca surat itu, seperti mau nangis saja aku. Hem, , moga-moga saja John akan baik-baik saja disana, dan berharap bisa bertemu dengan dia lagi.
Jadi itulah cerita masa SMA ku saat bersama John. Sampai 15 tahun sejak kejadian itu, aku belum pernah bertemu dengannya. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi.
Saat ini aku sedang berada dirumahku. Untuk melepas kejenuhan kuhidupkan tv, lalu kupilih untuk melihat acara berita saja. Saat itulah aku kaget setengah mati dan senang sekali, aku melihat John diberitakan pada acara berita tersebut. Dia menjadi seorang narasumber tentang budaya Indonesia. Tapi sayang aku hanya bisa melihat John sebentar, karena acara itu tiba-tiba selesai. Hem, Aku termenung, sudah jadi orang hebat ya si John itu. Lalu tiba-tiba terdengar suara ketok pintu. Segera aku menuju pintu depan. Kubuka pintunya, ternyata orang yang ada di tv tadi, sekarang muncul dihadapanku. Iya benar, itulah John bersama seorang wanita dan anak kecil. Wah, Aku dibuat kaget beruntun nih. Kami lalu saling berpelukan melepas kerinduan. Kemudian kuberkata pada John, ” Bagaimana kabarmu teman? Lama kita tak berjumpa, dan tolong perkenalkan siapa wanita cantik dan seorang anak itu. Lalu John menjawab, ”Kabarku baik-baik saja, Saya yakin kamu juga baikkan. Wanita ini bernama Ningsih, dia adalah istriku. Kemudian disampingnya adalah anak kami. Namanya seperti namamu, yaitu Niko. He he..” Aku kaget dan menanggapi, ”Wah, Kamu tidak kreatif John dalam memberi nama. He he. John pun menanggapi, ”Aku hanya ingin anakku yang tanpa cacat fisik ini menjadi sepertimu.” He he, aku menjadi tersipu malu. Lalu segera mereka kupersilakan masuk kerumahku. Dari perbincangan kami di ruang tamu itu aku menjadi tahu bahwa John sudah kembali ke Indonesia sejak 10 tahun yang lalu. Dia kembali karena akan melakukan penelitian tentang penggalian lebih dalam nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia. Penelitian itu memang salah satu dari impian John. Dalam melakukan penelitian itu, dia bekerjasama dengan peneliti-peneliti budaya juga yang berasal dari Indonesia. Dana penelitian dia dapat dari kampusnya yang ada di Kanada, pemerintah Indonesia dan beberapa sponsor lain. Selama 10 tahun ini demi penelitian John berkeliling Indonesia, mulai dari sabang sampai merauke. Saat berkeliling Indonesia itulah dia bertemu dengan Ningsih, dan melamarnya sebagai istri, lalu mempunyai anak yang sekarang sudah berumur 6 tahun. Perjalanan John keliling Indonesia sudah berakhir. John ingin hidup menetap di Ponorogo ini dan berkeinginan segera resmi menjadi warga negara Indonesia. Dia juga ingin anaknya bersekolah disini. Akhirnya Aku dan John untuk beberapa waktu yang lama akan hidup bersama di Ponorogo dan bersama-bersama membangun negeri ini.Itulah cerita dari John yang dapat kita ambil banyak hikmah. Salah satu hikmah yang sangat penting adalah bahwa saat kita melakukan sesuatu pada obyek tertentu, apabila didasari dengan kecintaan kita pada obyek itu, maka akan menghasilkan sesuatu usaha yang maksimal. Kita sebagai rakyat Indonesia juga harus seperti itu. Disaat rakyat Indonesia melakukan pembangunan didasari pada kecintaan pada negaranya, maka pembangunan akan bisa berjalan dinamis. Tengoklah John walau warga negara asing, dia sangat mencintai Indonesia. Karena kecintaannya tersebut, dia rela keliling Indonesia untuk kepentingan penelitian yang nantinya hasil penelitian itu pasti akan sangat berguna bagi bangsa kita. Kita sebagai warga negara Indonesia harus tidak boleh kalah dari John.
Kalau masalah keinginan terhadap terciptanya pembangunan Indonesia yang kreatif, saya yakin rakyat Indonesia pasti mampu berpikir kreatif. John yang tangannya cacat saja mampu dengan kreatif memaksimalkan kelebihannya di kaki. Tapi untuk bisa menjadi kreatif dapat dilakukan dengan cara yang disarankan pak Heru pada John dan aku, yaitu dengan cara meniru cara hidup warok yaitu selalu syukuri dulu apa yang kamu punya, maka kamu akan dapat mengembangkan dengan kreatif apa yang kamu punyai itu. Jadi pesan terakhirku, selalu bersyukurlah dan bangunlah hal-hal yang baik di Indonesia dengan didasari pada kecintaan kita pada negeri ini, maka saya yakin kekreatifan dalam pembangunan demi kesejahteraan bangsa ini pasti akan terwujud. Jika kamu melakukan itu, maka kamu sudah layak untuk bisa disebut sebagai P I S (PECINTA INDONESIA SEJATI).
SEMANGAT!!!!!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar