Musim lebaran sudah usai, banyak pendatang baru di kota Jakarta bermunculan. Diantara beribu-ribu pendatang itu, terdapat dua perempuan asal Tegal yang ingin mengadu nasib di ibukota. Dua perempuan itu bernama Kiki dan Retno. Bersama suaminya masing-masing, mereka siap menaklukan kerasnya Jakarta. Kiki beserta Dodo suaminya dan Retno ditemani Muiz suaminya, sama-sama mendirikan Warteg (Warung Tegal) untuk mengais rezeki. Warteg bisa dikatakan rumah makan yang menjual berbagai lauk dan sayur mayur khas Jawa Tengah (khususnya Tegal dan sekitarnya). Kebanyakan Warteg tergolong kewirausahaan rakyat ukuran mikro.
Kembali ke Kiki dan Retno, mereka mendirikan warteg sama-sama bertempat di suatu kelurahan di Jatinegara, Jakarta Timur. Di awal berdiri, animo warga sekitar cukup besar. Kedua warteg itu cukup banyak dikunjungi. Hal itu mungkin disebabkan harga makanan di warteg yang relatif murah bagi warga sekitar. Kiki dan Retno sungguh menikmati masa-masa itu.
Lama-kelamaan makin banyak berdiri warteg di daerah itu. Saingan bagi Kiki dan Retno makin banyak. Setelah berjalan cukup lama, warteg Kiki dan Retno mengalami perubahan animo pengunjung. Warteg Kiki mengalami penurunan jumlah pelanggan cukup drastis daripada di awal berdirinya. Tetapi berbeda dengan nasib Retno, wartegnya makin menjadi-jadi saja jumlah pengunjungnya, malahan sudah berhasil mendirikan satu cabang di daerah Jakarta Utara.
Kenapa ya nasib Kiki dan Retno berbeda? Apa yang membedakan antara cara kerja Kiki dan Retno? Mari kita flashback apa yang sebenarnya terjadi. Ada suatu hal yang sangat membedakan antara Kiki dan Retno, yaitu tentang rasa haus akan data. Maksudnya adalah besar tidaknya kemauan untuk peduli dalam mengumpulkan data.
Kiki saat melihat bahwa saingan warteg semakin banyak, dia tidak melakukan apa-apa, tetap sama dengan yang sebelumnya. Dia hanya peduli pada data pengeluaran yang digunakan untuk menjalankan wartegnya, dan juga data pemasukan yang diperoleh melalui pelanggannya. Atau bisa dikatakan, dia hanya peduli pada data keuntungan yang diperolehnya.
Beda dengan Retno, dia sangat peduli dengan berbagai data yang berhubungan dengan wartegnya. Dia tidak hanya mengumpulkan data keuntungan saja. Data lain yang dia kumpulkan seperti data makanan favorit pelanggan, data pelanggan setia, data request makanan dari pelanggan, data rata-rata jumlah pelanggan dalam sehari, data minuman yang sering dipesan pelanggan, data pukul berapa pelanggan terbanyak dan tersedikit berkunjung, dll. Retno juga menyediakan kotak kritik saran bagi pelanggan yang juga tergolong data. Retno sadar bagaimana pentingnya data itu dalam menjalankan wartegnya, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Retno dibantu suaminya benar-benar gigih dalam mengumpulkan berbagai data itu.
Berharap para pelaku usaha kecil menengah di Indonesia sadar akan pentingnya berbudaya statistik seperti yang Retno miliki. Budaya yang sadar akan pentingnya data, mau berpola pikir statistik, dan berperilaku statistik.
0 komentar:
Posting Komentar